Rabu, 25 Januari 2012

JAWER KOTOK, DARI LEGENDA CIUNG WANARA MENJADI SEDIAAN ANTI-INFLAMASI MODERN

Legenda Ciung Wanara masih terpelihara baik di kawasan Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing lebih kurang 16 km dari Kota Ciamis ke arah Timur Kabupaten Ciamis, Desa ini dianggap sebagai bekas pusat Kerajaan Galuh. Apabila dilihat dari segi keagamaan Hindu, tempat itu sangat strategis dijadikan pusat pemerintahan karena letaknya berada di muara, tempat pertemuan dua aliran sungai, yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur. Di Desa Karangkamulyan terdapat cagar budaya Karangkamulyan. Cagar budaya ini merupakan peninggalan pusat Kerajaan Galuh. Prabu Barma Wijaya Kusuma memerintah kerajaan Galuh yang sangat luas. Permaisurinya 2 orang. yaitu Pohaci Naganingrum, dan yang kedua bernama Dewi Pangrenyep. Dewi Pangrenyep mempunyai putra bernama Hariang Banga. Ketika Pohaci Naganigrum melahirkan seorang anak laki-laki, bayi tersebut dimasukkan ke dalam kandaga emas disertai dengan sebutir telur ayam. Kandaga dihanyutkan di sungai Citanduy. Adalah seorang Aki bersama istrinya, Nini Balangantrang, tinggal di desa Geger Sunten tanpa bertetangga. Sudah lama mereka menikah, tetapi belum dikarunia anak. Suatu malam Nini bermimpi kejatuhan bulan purnama. Mimpi itu diceritakannya kepada suami dan sang suami mengetahui takbir mimpi itu, bahwa mereka akan mendapat rezeki. Malam itu juga Aki pergi ke sungai membawa jala untuk menangkap ikan. Betapa terkejut dan gembira ia mendapatkan kandaga emas yang berisi bayi beserta telur ayam, Karena ketika ditemukan bayi itu terdengar suara burung ciung dan teriakan-teriakan monyet (Wanara), maka Aki Balangantrang menamakan bayi itu Ciung Wanara. Mereka asuh bayi itu dengan sabar dan penuh kasih sayang. Telur ayam itu pun mereka tetaskan, mereka memeliharanya hingga menjadi seekor ayam jantan yang perkasa. Suatu hari Ciung Wanara pamit untuk menyabung ayamnya dengan ayam raja, karena didengarnya raja gemar menyabung ayam. Raja menerima dengan gembira sabung ayam tersebut. Pada awalnya ayam ciung wanara menderita kekalahan, jenggernya terluka parah dan tampak menderita kesakitan. Oleh Ciung Wanara, jengger ayam jagonya diobati dengan daun tumbuhan yang dilumatkan dengan air dari sumber air cikahuripan. Setelah beberapa lama luka-luka yang diderita jengger ayam jagonya sembuh. Karena daun tumbuhan yang digunakan mempunyai warna dan bentuk seperti jengger ayam, dinamailah tumbuhan tersebut dengan sebutan jawer kotok yang berarti jengger ayam. Sejak itu, daun jawer kotok digunakan oleh masyarakat setempat secara tradisional untuk mengobati dan mengatasi radang. Penggunaan tradisional suatu tumbuhan atau bagian tumbuhan untuk obat dikenal sebagai etnofarmakognosi.

Dalam pencarian dan penemuan obat baru, obat tradisional yang merupakan bagian dari sosio budaya suatu bangsa atau suku bangsa tertentu sering menjadi cikal bakal lahirnya sebuah obat baru. Etnofarmakognosi adalah bagian dari ilmu farmasi yang mempelajari penggunaan obat dan cara pengobatan yang dilakukan oleh etnik atau suku bangsa tertentu. Ruang lingkup etnofarmakognosi meliputi obat serta cara pengobatan menggunakan bahan alam. Komunitas etnik suatu daerah mempunyai kebudayaan dan kearifan lokal yang khas sesuai dengan daerahnya masing-masing. Hal tersebut berdampak pada pengetahuan obat dan pengobatan tradisionalnya. Berbagai etnik atau suku bangsa di Indonesia mempunyai pengalaman empiris masing-masing dalam mengatasi gangguan kesehatan. Pengetahuan empirik etnis berbeda pada setiap wilayah tergantung pada sifat khas dan kearifan budaya (cultural wisdom) masing-masing. Etnofarmakognosi merupakan bagian dari ilmu pengobatan masyarakat tradisional yang seringkali terbukti secara empiris dan setelah melalui pembuktian-pembuktian ilmiah dapat ditemukan atau dikembangkan senyawa obat baru.
Berlatarbelakang legenda yang menjadi pengetahuan etnofarmakognosi, diduga daun jawer kotok dapat dikembangkan menjadi sediaan anti-inflamasi modern yang aktivitasnya dapat ditanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk membuktikan itu, dilakukan pengujian aktivitas anti-inflamasi ekstrak daun jawer kotok pada tikus putih galur Wistar yang diinduksi inflamasi dengan karagenan.
Bahan penelitian berupa daun tumbuhan jawer kotok yang dikumpulkan dari wilayah Karangkamulyan, dikeringkan di udara terbuka tanpa pemanasan dengan sinar matahari langsung.

Bahan diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol, kemudian diuapkan pada tekanan yang dikurangi. Ekstrak kemudian difraksinasi menggunakan pelarut n-heksana, etilasetat, dan air.

Aktivitas anti-inflamasi dilakukan dengan menggunakan tikus putih jantan (Ratus norwegicus) galur Wistar, metode inhibisi radang pada kaki tikus yang diinbduksi inflamasi dengan karagenan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun jawer kotok yang menurut cerita legenda Ciung Wanara digunakan sebagai anti-inflamasi, pada pengujian aktivitas anti-inflamasi menggunakan hewan coba tikus putih jantan (Ratus norwegicus) galur Wistar yang diinduksi karagenan menunjukkan aktivitas anti-inflamasi. Aktivitas anti-inflamasi tertinggi diberikan oleh fraksi air dosis 500 mg/kg BB. Dengan demikian pengetahuan etnofarmakognosi perlu dipertimbangkan dalam pencarian obat baru berasal dari tumbuhan.

1 komentar: